Tuesday, October 12, 2010

Kebebasan Berekspresi Menuju Demokrasi

Kebebasan Berekspresi Menuju Demokrasi
Oleh : Afton Ilman Huda

Polda Metro Jaya mengimbau pengunjuk rasa tidak membawa hewan, termasuk kerbau, dalam aksinya. Hewak tak cocok dibawa ketempat keramaian. (Kompas/04/02/10)

Larangan tidak mendasar Polda Metro Jaya menciderai kedewasaan jalan menuju demokratisasi Indonesia. Aksi pada tanggal 9 desember 2009 yang melibatkan hewan “kerbau” sebagai simbol perlawanan terhadap kebiasaan pola pemerintahan yang lambat, bertele-tele serta lebih mengutamakan kepentingan golongan. Pemaknaan ekspresi masyarakat seharusnya menjadi kebanggaan terhadap pola pikir masyarakat demokrasi yang kreatif.

Undang undang Nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum serta etika untuk menjaga ketertiban dan keselamatan dimuka umum bukan untuk melarang kekebasan berekspresi menyampaikan otokritik melalui berbagai media.  

Salah jika kita mengansumsikan bahwa dengan membawa hewan sebagai simbol ataupun maskot dalam suatu aksi akan menjadi biang keributan. Pernyataan Kepala Bidang Humas  Polda Metro Jaya yang mengkhawatirkan jika kerbaunya suatu saat strees dan mengamuk lalu lari menuju kerumunan dan akhirnya merusak mobil dan motor sungguh pola pikir yang danggkal. Tugas POLRI adalah untuk menjaga agar aksi berjalan tertib tidak pada ranah membatasi kekebasan ekspresi menyamapaikan pikiran.

Kedewasaan sikap dalam demokrasi harus dimaknai oleh seluruh elemen warga negara Indonesia baik Eksekutif, Legislatif , Eksekutif, maupun Civil Society sebagai ujung tombak berjalannya proses demokrasi Indonesia.  Elemen-lelemen ini harus menjunjung tinggi etika serta memahami ranah-ranah yang menjadi kewenangannya masing-masing sesuai tugas dan peranannya. Poin yang tidak boleh terlewatkan adalah menjunjung tinggi konstitusi dalam kerangka mewujudkan tujuan negara.

Etika Masyarakat Demokrasi

Panitia khusus bentukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam kasus centurygate menyisakan kenangan kelam. Aksi saling hina antara Ruhut Sitompul (Fraksi Partai Demokrat) dan Gayus Lumbun (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) di forum pansus menyisakan kepedihan dihati rakyat. Wakil rakyat yang diharapkan santun, tegas, berwibawa dan menjunjung tinggi martabat manusia ternyata menampakkkan ketidakmampuannya menjaga amanah rakyat. Kata-kata setan dan bangsat tak layaknya guyonan preman jalanan.





Sikap presiden Susilo Bambang Yudhoyono melihat aksi-aksi jalanan menunjukkan bahwa presiden sudah gerah. Gerah dengan caci- makian, kritikan , simbol-simbol perlawanan, tuntutan dalam sebuah potret layar lebar. Kegerahan ini dimulai dari konflik Cicak dan Buaya, Centurygate kemudian ditampilkan dalam layar lebar pada skema 100 hari janji pemerintahannya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang selama ini menunjukkan sikap santun, beretika, bijaksana dimuka publik sering tampil terbawa pada ranah-ranah eksperesi publlik, kemudian secara tidak langsung citra Susilo Bambang Yudhoyono tersebut terkungkung pada pemaksaan emosional yang secara psikologi tidak beretika kemanusiaan. Terbukti melalui pernyataan-pernyataan yang disampaikan terhadap buku Membongkar Gurita Cikeas oleh George junus Aditjondro sampai masalah yang cukup sederhana yaitu kerbau dalam aksi gerakan masyarakat. Sungguh terlalu sederhana jika seperti ini saja di kritisi oleh presiden bukankah dibalik presiden juga masih ada orang-orang yang lebih tepat untuk menyampaikannya.

Etika masyrakat demokrasi lebih mengedepankan etika kemanusiaan. Sejauh mana hak-hak dasar manusia sebagai warga negara dapat dlindungi oleh undang-undang sehingga berbicara, bertindak dan berperilaku dalam tatanan masyarakat demokrasi sesuai aturan. Elemen-elemen yang menunjang terlaksananya proses demokrasi semestinya bermartabat ala pancasila yang menghimbau warga negara untuk akademis, berideologi , ber-Tuhan dan berkeadilan sosial. Tujannya jelas untuk mewujudkan amanah falsafah negara dalam pembukaan undang-undang dasar 1945.

Kerbau dalam aksi dan gerakan elemen masyarakat ini bukan dimaknai masyarakat yang membutuhkan pendidikan etika tetapi lebih pada penyampaian ekspresi masyarakat terhadap pola pemerintahan atau bahkan permasalahan korupsi yang belum dapat terseleseikan. Masyarakat hanya membutuhkan ketegasan seorang pemimpin dalam mengambil sikap dan prioritas bukan terkungkung pada ranah etika atau martabat.

Manusia Vs Kerbau

Untuk memahami falsafah manusia dan kerbau maka lebih tepat jika menjawab pertanyaan lebih mudah mana yang di atur manusia atau kerbau?. Sesuatu yang mudah tetapi sulit untuk dijawab pada kondisi saat ini.

Mengatur manusia seharusnya lebih mudah karena manusia mempunyai akal pikiran sehingga mampu membedakan mana perintah dan mana larangan. Mengatur kerbau lebih sulit karena kerbau tidak mempunyai akal pikiran tetapi butuh ketelatenan dan kebiasaan untuk mampu mengendalikannya sesuai kemauan kita sehingga kerbau sulit membedakan mana itu perintah m,ana itu larangan.

Jika manusia lebih mudah diatur maka saeharusnya proses tata kelola kenegaraan ini lebih mudah dibandingkan tata kelola peternakan kerbau. Karena pada dasarnya manusia memiliki akal pikiran yang bisa merasakan kepekaan sosial lingkungan sekitar berbeda dengan kerbau yang mesti “diajari” untuk bertindak seseaui komando manusia. Jika kerbau tidak diharapkan keberadaannya dalam aksi dan gerakan seharusnya tata kelola kenegaraan yang efektif harus diupayakan terlebih dahulu. Bilamana tidak terlaksana tidak salah jika kerbaupun akhirnya jadi simbol yang mencerminkan keadaan manusia.


Kebebasan Ekspresi

Proses hukum Prita Mulyasari dalam kasus pencemaran nama baik Rumak Sakit Omni International mengingatkan kita pada sebuah curhatan kecil yang memikat publik. Terobosan cukup menarik ketika ada undang-undang teknologi informasi yang mengatur proses penyampaian opini kemuka publik, tetapi perlu ditegaskan ukuran dan kadar sejauh mana opini ataupun ekspresi kita dibatasi.

Pembatasan-pembatasan formal pada penyampaian opini dan ekspresi dalam kerangka undang-undang dinilai perlu untuk diadakan.  Ketika ukuran etika sering dipermainkan dalam peradilan ketika undang-undang sering disalah artikan dari fungsinya. Negara besar ini butuh pijakan hidup dibawah goncangan kehidupan pandangan non normalisme.

Perlu ditegaskan juga undang-undang untuk membebaskan belenggu permasalahan ini tidak pada ranah hak-hak dasar. Karena dunia menyepakati hak-hak dasar ini sekaligus menjunjung tinggi hubungan antar manusia (human relations). Hak-hak dasar tersebut nantinya akan membuat bangsa tumbuh dari kedewasaan menjaga etika kemanusiaan. Bilamana etika kemanusiaan dijunjung maka secara tidak langsung proses demokrasi akan lebih dewasa dan lurus pada jalur yang ditrentukan oleh etika kemanusian tersebut.



Afton Ilman Huda*
Kordinator ILMISPI Daerah Jawa Timur
(Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Sosial Politik Indonesia)

No comments:

Post a Comment